Senin, 15 Februari 2010

Resusitasi Cairan

Respon endokrin berlangsung setelah cedera menyebabkan retensi natrium, klorida, dan cairan pada saat pemberian cairan yang mengandung natrium dalam jumlah besar untuk mempertahankan sirkulasi dan oksigenasi jaringan. Retensi natrium, klorida, dan cairan juga terjadi sebab terjadi peningkatan permeabilitas pembuluh darah terhadap protein plasma khususnya albumin, yang menyebabkan sequestrasi cairan kedalam ruang interstisial dan terjadi edema. Retensi cairan dan elektrolit yang berlebihan dan edema interstisial berhubungan dengan SIRS (Systemic Inflammatory Response Syndrome dan MOD (Multiple Organ Dysfunction) dan failure. Hubungan tersebut membuat kita untuk mencoba meninjau proses ini dan menimbulkan pertanyaan “Dapatkah manipulasi resusitasi cairan mempengaruhi respon inflamasi terhadap cedera dan fungsi organ”. Hasil penelitian klinik dengan metode prospektif control menganjurkan pembatasan input natrium dan klorida dan mengoptimalkan koloid sintetik yang tertahan baik di ruang vaskuler dapat mengurangi respon inflamasi terhadap cedera dan memperbaiki fungsi organ.

Resusitasi cairan
Komposisi cairan ekstraselluler pada tubuh seperti lautan yang didalamnya terdapat kehidupan beribu tahun yang lalu. Mekanisme homeostatik terjadi untuk mempertahankan lingkungan ekstraselluler dalam waktu singkat. Respon ginjal terhadap sistem renin-angiotensin-aldosteron, otak, dan hormon serta aksis pituitary posterior-vasopresin-renal untuk mempertahankan tonisitas dan natrium cairan ekstraselluler dan membantu mempertahankan tekanan darah. Setelah adanya gangguan seperti perdarahan, trauma tumpul, luka baker, infeksi, puasa, dan dehidrasi; melalui proses yang sama timbul respon secara langsung untuk mempertahankan lingkungan ekstraselluler.
Cedera atau pasien dengan penyakit akut, terapi cairan bertujuan untuk mempertahankan distribusi oksigen ke jaringan bersamaan dengan respon homeostasis. Penelitian ini diarahkan untuk menjelaskan respon tubuh dan k penggunaan resimen resusitasi cairan yang berbeda pada proses inflamasi dan fungsi organ. Belum ada konsensus tentang resimen cairan yang optimal untuk mengganti volume cairan akut setelah operasi atau trauma dan usaha untuk menjawab hal ini berdasarkan meta-analisis belum berhasil. Data yang digambarkan disini penelitian dengan pendekatan studi klinik prospektif kontrol yang mengawasi respon patofisiologi dan fungsi organ lebih informatif dan memberikan dasar bukti (evidence base) untuk memperbaiki terapi cairan pada pasien akut.
Homeostasis cairan dan natrium setelah cedera
Respons stress setelah gangguan seperti pembedahan , trauma, perdarahan, luka baker, dan cardiopulmonary arrest menyebabkan penyimpanan natrium dan cairan serta vasokonstriksi selektif untuk mempertahankan suplai darah ke otak, jantung, dan paru.

Intake natrium orang dewasa bervariasi tergantung diet, tetapi biasanya berkisar 100 sampai 220 mmol/24 jam, yang disertai 1,5 -2,5 liter air. Walaupun kisaran intake air dan garam lebar, tetapi ginjal mempertahankan konsentrasi natrium cairan ekstraselluler dalam kisaran yang sempit melalui vasopresin, renin-angiotensin-aldosteron system, otak, serta atrial natriuretik peptide.
Sementara itu, pasien setelah trauma major biasanya diberikan cairan dan natrium dalam jumlah lebih. Kehilangan darah dan inflamasi menginduksi kebocoran kapiler sistemik, yang cenderung membuat pasien hipovolemik. Ditambah lagi penggunaan anastesi untuk pembedahan dapat mengurangi resistensi vascular sistemik yang juga akan cenderung membuat pasien hipovolemik. Efek ini membuat kita memberikan darah dan cairan intravena, air dan garam dalam cairan yang beberapa kali dari intake normal sehari-hari.
Input cairan selama 24 jam pada pasien yang menjalani resusitasi untuk trauma major digambarkan pada tabel 1. Pasien tersebut akan mengalami respons stress berupa peningkatan sekresi vasopresin, renin, angiotensin II, aldosteron, dan penurunan pelepasan natriuretik peptide. Jadi, penambahan cairan dan natrium yang telah diberikan untuk mengisi kompartemen vaskular yang hilang dan mengganti kehilangan darah akibat trauma dan kehilangan selama operasi, tubuh pasien akan menahan air dan natrium secara intensif. Pada 24 jam pertama output urine berkisar 1000 ml dan ekskresi natrium sekitar 50 mmol. Jika kehilangan darah 5000 ml dan insensible losses 800 ml, pada akhir 24 jam pertama pasien berada dalam balans cairan positif sekitar 8800 ml dan balans natrium positif sekitar 1500 mmol. Tabel ini memperlihatkan adanya kelebihan cairan, gambaran cairan dan elektrolit postoperative yang menunjukkan bahwa pasien kemungkinan menerima sekitar 7000 ml air dan 700 mmol natrium dan klorida pada hari pertama postoperative. Apa yang terjadi pada pasien setelah kritis. Keadaan ini digambarkan pada dua kasus yang berbeda pada trauma major. Balans cairan dan elektrolit setelah dikoreksi kehilangan cairan insensible diperlhatkan pada gambar 2-5.
Pasien A (gambar 2) berespon cepat terhadap resusitasi cairan dan pemberian resusitasi cairan berhenti pada hari ke empat dan mendekati balans nol pada hari ke 5. Rasio pO2/FiO2 diatas 40 kpa menunjukkan fungsi paru tetap baik dan pasien bernafas biasa pada hari ke 10 dan meninggalkan ICU pada hari ke 12. Walaupun menerima natrium melebihi 1100 mmol natrium setelah hari ke 3, balans natrium kumulatif mendekati nol pada hari ke 6 (gambar 3).

Sebaliknya pasien B (gambar 4 dan 5) membutuhkan volume koloid dan kristaloid dalam jumlah besar untuk mempertahankan parameter kardiovaskular dalam batas yang dapat ditoleransi dan rasio pO2 /FiO2 tetap rendah. Adanya retensi air maksimum pada hari ke 8 dimana titik rasio pO2/FiO2 paling rendah dan pasien telah berkembang menjadi Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS) (gambar 4). Ketika pemberian diuretik dimulai, terjadi perbaikan fungsi paru yang disertai dengan mobilisasi natrium dan air. Pada hari ke 15 pasien menjadi septik dengan jatuhnya rasio pO2/FiO2 dan disetai retensi cairan rekuren. Tidak seperti pasien A, keseimbangan natrium dengan keseimbangan cairan berdekatan pada hari ke 13, dengan loading natrium maksimum pada hari ke 8 dan natriuresis progresif sampai hari ke 15, dan retensi natrium pada saat itu terjadi berhubungan dengan sepsis.

Ekskresi air dan natrium lebih diterima oleh tubuh pasien dengan respon katabolik pada pembedahan, trauma, atau sepsis. Kembali pada pasien B, gambar 6 menunjukkan serum C reactive protein ( marker umum inflamasi) dan ekskresi urea urine. Adanya peningkatan serum C reactive protein post trauma ,yang ditunjukkan dengan peningkatan yang lebih besar berhubungan dengan ARDS (hari 9-14) dan sepsis (hari 15-19).
Setiap periode inflamasi disertai dengan peningkatan ekskresi urea nitrogen urine. Gambar 7 menunjukkan perhitungan osmolalitas urine (perkiraan kasar berasal dari penggandaan jumlah natrium dan kalium dan menambah jumlah ekskresi urea) dan menggambarkan kelebihan zat terlarut ginjal diekskresikan . Urea urine sangat penting dalam menentukan osmolalitas urine dan selama episode inflamasi urine dengan tekanan osmotik berlebih ditingkatkan ekskresinya dan disertai dengan hipernatremia. Hal ini terjadi karena ekskresi natrium pasien B harus berkompetisi dengan nitrogen yang juga penting diekskesikan dan hipernatremia berlangsung selama peride ekskresi nitrogen urine lebih besar. (gambar 7). Pada orang sehat sekalipun, konsentrasi urine yang dapat dicapai berkisar 1000 mmol/l, dan pada pasien kritis biasanya hanya setengah dari nilai ini. Jika input cairan bebas tidak cukup, akan mengakibatkan hipernatremia maupun uremia dan usaha untuk mobilisasi edema terganggu dengan keadaan hiperosmolar merangsang pelepasan vasopressin dan menambah retensi cairan.Penanganan edema yang logis pada keadaan ini adalah peningkatan volume urine denganmeningkatkan input air dan memberikan diuretic jika penting untk mencegah efek vasopressin. Jika hal ini gagal makahemofiltrasi mungkin dibutuhkan.

Biasa juga terjadi hiponatremia pada pasien akut yang telah mendapatkan cairan intravena. Keadadaan ini kadang-kadang diinterpretasikan sebagai indikasi untuk memberikan natrium lebih, walaupun penyebab hiponatremi karena defesiensi natrium. Biasanya pasien seperti itu mempunyai kandungan natrium total tubuh tinggi, khususnya jika pasien memiliki balans cairan positif. Konsentrasi natrium dan kalium merupakan indikator sangat jelek pada status tubuhnya.
Ada beberapa penjelasan yang mungkin untuk hiponatremia dengan natrium tubuh total berlebihan, dimana terjadi akumulasi cairan pada ruang interstisiel disebabkan oleh translokasi albumin dan cairan melalui kapiler yang bocor, dan retensi cairan disebabkan oleh stress berhubungan dengan pelepasan vasopressin. Natrium juga hilang dari ruang ekstraselluler masuk ke dalam sel.Teori “sick cell syndrome” yang menjelaskan hiponatremia kronik, menjelaskan bahwa pergerakan natrium kedalam sel terjadi karena hilangnya solute intraselluler dan tidak ada edema selluler. Namun, peneliatian pada hewan membuktikan bahwa cedera akut dan inflamasi menyebabkan sekuestrasi natrium, klorida,dan air serta mungkin menyebabkan edema selluler. Cunningham dan Shire menunjukkan adanya peningkatan dua kali pada natrium sel darah merah dan penurunan kalium sel darah merah setelah shock yang lama pada 25 pasien. Pada kasus khusus, konsentrasi natrium sel darah merah meningkat 12 mmol/l dalam 5 jam dari awal shock, dan kembali normal dengan cepat setelah pembedahan repair laserasi arteri mesenterika. Peneliti mengemukakan bahwa defesiensi energi intraselluler dapat menyebabkan penurunan aktivitas pompa natrium- kalium sel yang menyebabkan natrium masik ke dalam sel. Ditambah lagi dengan adanya deficit energi sel sehingga terjadi hipoksia, pelepasan nitric oxida yang lama pada inflamasi hebat yang menghambat fungsi kompleks VI mitokondrial dan mengurani persediaa ATP. Terdapat banyak penelitian pada hewan menunjukkan perubahan aktivitas pompa natrium kalium sel sebagai respon dari bermacam intervensi. Hannon dan Boston memperhatikan pergerakan natrium, klorida, dan air kedalam sel otot skeletal dalam 12 jam pada ligasi dan tusukan pada sekum tikus. Attempting to assess accurately sodium balance is very difficult, but assuming there are no major errors in assessing sodium balance, a plausible explanation is intracellular sequestration of sodium
Pasien B mungkin mengalami akumulasi natrium intrasel. Pada hari ke 8 pasien dengan balans cairan positif sebanyak 15 liter (gambar 4) dengan balans natrium positif 2900 mmol (gambar 5). Konsentrasi natrium ekstrasel adalah 138 mmol/l (gambar 7). Kandungan natrium dalam 15 liter dapat dihitung (138x15) dan menjadi 2070mmol, sehingga balans sodium positif sekitar 830 mmol natrium. Usaha untuk menghitung dengan tepat balans sodium sangat sulit, tetapi tidak ada kesalahan yang sangat besar dalam menghitung balans natrium ini , yang jelas pemahaman tentang sekustrasi intraselluler dapat diterima.
SYSTEMIC CAPILLARY LEAK AND SYSTEMIC INFLAMMATORY RESPONSE SYNDROME
Mikrosirkulasi setelah cedera disertai dengan edema interstisial oleh karena peningkatan permeabilitas sistemik dan dalam keadaan hebat edema sel dapat menghambat aliran darah kapiler. Kebocoran kapiler sistemik merupakan ciri respon inflamasi sebagai tanda cedera, infeksi, atau iskemik, dan gangguan perfusi. Hal ini terjadi dalam beberapa menit dari cedera sesuai dengan kehebatan gangguan dan pada kasus tanpa komplikasi berlangsung dalam beberapa jam. Klinis sindrom kebocoran kapiler ditandai oleh pergerakan air dan protein lebiiiiih banyak dari ruang vaskuler ke interstisiel karena hipoalbuminemia, meningkatnya kepekatan darah, hipovolemia dan akumulasi edema cairan interstisial. Walaupun demikian, mekanisme inflamasi menginduksi kebocoran kapiler belum jelas. Saat ini sudah jelas respon sel endothelial terhadap pelepasan mediator inflamasi. Setelah stimulasi inflamasi neurogenik oleh substansi P, sel endothelial trakea tikus diteliti lagi dengan scan elektromikroskopi. Melalui gap sel endothelial ini protein berpindah, yang paling banyak adalah albumin. Setiap gram albumin berikatan dengan 18 gram cairan isotonik yang berperan dalam mekanisme terjadinya retensi air dan garam dan terjasinya edema interstisial. Oleh karena 60 % albumin tubuh normalnya berada di ruang interstisiel dan jumlah ini meningkat setelah cedera atau sepsis disebabkan karena kebocoran kapiler, larutan albumin bukan pilihan ideal yang efektif untuk peningkatan cairan kompartemen vaskuler.
Edema interstisiel mempengaruhi fungsi organ dengan membatasi aliran darah kapiler, pertukaran gas, dan oksigenasi jaringa. Hal ini berperan penting dalam paru menyebabkan ARDS dan pada ginjal dimana edema interstisial menyebabkan peningkatan tekanan intrarenal yang melawan tekanan filtrasi yang dialirkan oleh jantung. Sindroma kebocoran kapiler yang tidak terkendali dan menyebabkan respon inflamasi sistemik yang hebat yang dikenal sebagai systemic inflammatory response syndrome (SIRS). SIRS berhubungan dengan overload cairan, edema, kegagalan organ multiple, dan kematian jika gagal mempertahankan homeostasis.
Sifat khusus dalam mekanisme pemekatan ginjal mampu mengekskresikan albumin dalam jumlah kecil (mikroalbuminuria) dapat digunakan untuk mengetahui perubahan permeabilitas kapiler sistemik setelah trauma, luka baker, operasi, iskemik dan reperfusi dan keadaan innflamasi lain seperti pankreatitis. Penelitian ini menunjukkan adanya mikroalbuminuria terjadi dalam beberapa menit terjadinya inflamasi, tergantung beratnya keadaan awal dan diperkirakan akan terjadi ARDS setelah trauma,disfungsi pulmoner setelah operasi elektif, infark miokard akut, kegagalan organ multiple, dan kematian selama di ICU. Gambar 9 menunjukkan pola khusus respon tubuh terhadap gangguan permeabilitas kapioler sistemik (mikroalbuminuria) dan mediator inflamasi (plasma interleukin 6) dan marker plasma (serum C reactive protein).
Kegagalan ekskresi kelebihan air, natrium, dan klorida setelah resusitasi disebabkan karena iatrogenic atau karena efek respon inflamasi yang hebat. Apapun penyebab overload cairan dan edema, sekali proses berlangsung, akan terjadi siklus berikutnya.
Tabel bagaimana overload cairan dapat menyebabkan edema
Kardiovaskuler
• Peningkatan preload mengurangi cardiac output edema
• Edema pulmoner hipoksia jaringan kegagalan mikrovaskular edema jaringan
Mikrovaskular/sellular
• Edema Interstitial mengurangi aliran darah kapiler hipoksia jaringan memperberat edema
• Edema Interstitial mengurangi drainase lymphatic memperberat edema
• Edema Interstitial menyebabkan tingginya tekanan intrakapsular: rendah GFR, oliguria, selanjutnya retensi natrium dan air memperberat edema

Metabolik
• Kelebihan natrium bersaing dengan urea untuk ekskresi dalam ginjal : uremia, hypernatremia, hiperosmolaritas, retensi cairan memperberat edema
• Kelebihan klorida menyebabkan asidosis hiperkloremik : memperburuk asidosis post trauma, vasokonstriksi renal  memperberat edema
Efek Loading natrium dan klorida
Penambahan volume cairan intravena harus isotonic dengan plasma. Hal ini dicapai dengan pemberian natrium dalam cairan dengan jumlah 130-150 mmol/l, dengan klorida sebagai anion utama. Oleh karena resusitasi cairan sangat penting, maka penambahan natrium, klorida, dan air pada akhirnya harus diekskresikan jika pasien telah pulih. Pemberian cairan intravena berlebih pada pasien yang aktif menahan air dan natrium dapat menyebabkan overload, Lebih 50 tahun yang lalu, Wilkinson menggambarkan ketidakmampuan pasien pembedahan untuk mengekskresikan kelebihan garam dan air sampai pulih. Moore menggambarkan “ Fase retensi urine” dan fase diuresis natrium “ pada cedera dan mengamati kemampuan ekskresi natrium klorida dan air pada pemulihan. Setelah bedah major atau trauma, terdapat resiko edema pada paru, ginjal, dan saluran cerna dan bahaya ini ditambah dengan pemberian cairan, natrium, dan klorida berlebih dengan gegabah. Membatasi input natrium dan penggunaan diuretik merupakan penanganan utama baik pada penyakit jantung kongestif dan penyakit liver untuk megurangi edema dan asites.
Retensi air dan natrium yang hebat menyebabkan edema interstisial, fungsi paru jelek, ARDS, dan kegagalan organ multiple. Sebagai dasar pandangan sekarang ini bahwa pasien dengan balans positif lebih dari 67 ml/kg dala waktu 36 jam pertama post operatif, sangat beresiko edema pulmoner. Hal ini menimbulkan pertanyaan “ Untuk apa pemberian cairan dan natrium berlebih pada penanganan pasien akut yang tak dapat dihindari yang akhirnya dapat menyebabkan edema interstisiel, disfungsi organ, dan keadaan yang jelek.
Penelitian baru-baru ini, baik pada orang normal maupun pada pasien akut menyarankan bahwa loading dengan natrium, klorida, dan air mempunyai efek merusak dan membatasi input natrium dan klorida menguntungkan. Dengan metode double blind cross over study, 10 relawan yang sehat diacak menerima 2 liter natrium klorida 0,9 % dan 2 liter dextrose 5 % secara intravena dalam waktu 60 menit Setelah 6 jam infuse salin, hanya ¼ loading cairan yang diekskresikan, tetapi setelah 6 jam infuse dextrose, ¾ loading cairan diekskresikan dengan diuresis cepat. Hanya loading salin yang disertai hipernatremia, hiperkloremia, dan konsentrasi albumin serum yang tetap turun. Perbandingan infus intravena dengan 50 ml/kg 0,9 % salin ( natrium dan klorida 154 mmol/l) atau larutan ringer laktat (sodium 130 mmol/l dan klorida 113 mmol/l) pada subjek normal menunjukkan bahwa dengan subjek dengan salin berkembang menjadi asidosis metabolic hiperkloremik. Hasil ini dipertahankan berdasarkan respon fisiologik secara teori terhadap loading natrium dan klorida. Kesalahan pemberian nama “normal salin” , kandungan natrium dan klorida diatas normal, dimana osmolalitas 304 mosm/kg ddapat menstimulasi pelepasan vasopresi dan menyebabkan penahanan cairan.Hyperchloraemia causes renal vasoconstriction.
Hiperkloremia menyebabkan vasokonstriksi ginjal, yang merupakan mekanisme lain yang meyebabkan retensi cairan setelah loading saline. Garam mengandung larutan koloid yang mempengaruhi keadaan asam basa. Waters dan kawan-kawan membandingkan pemberian intravena 15 ml/kg hydroxyethyl starch 6 % (mengandung 150 mmol/l klorida) dan albumin (mengandung klorida 98 mmol/l). Hanya kelompok yang menerima starch menunjukkan asidosis metabolic, yang mengandung klorida lebih tinggi dari kandungan pada albumin manusia.
Kandungan natrium dan air pada intravenous feeding pre operatif pada pasien malnutrisi menunjukkan adanya perubahan. Lobo dan kawan-kawan melakukan penelitian retrospektiv pada 44 pasien dengan pemberian nutrisi dimana 21pasien sedang mengalami edema. Bantuan nutrisi pada kelompok edema diberikan makanan dengan natrium dan volume yang rendah. Kelompok pasien edema berat badan turun kira-kira 10 kg karena mobilisasi natrium dan air disertai dengan peningkatan konsentrasi albumin serum yang menyebabkan perubahan berat badan. Gil dan kawan-kawan mengacak 41 pasien dengan kanker gastrointestinal dan malnutrisi hebat dengan pemberian resimen parenteral isokalori dan isonitronenik preoperative. Resimen standard mengandung 140 mmol/hari natrium dan resimen modiifikasi tanpa natrium dan kuran air. Penambahan berat badan, balans cairan positif, dan balans natrium positif ditemukan pada keompok dengan resimen modifikasi, dan balans cairan dan balans natrium negatif pada kelompok dengan resimen modifikasi. Terjadi penurunan komplikasi post operatif dan lama tinggal dirumah sakit pada pasien yang diberikan resimen modifikasi. Starker dan kawan-kawan memonitor efek rata-rata satu minggu pemberian nutrisi parenteral total sebelum operasi abdominal pada pasien yang kehilangan nutrisi. Pasien ini difollow up untuk melihat komplikasi post operatif. 16 % pasien berespon terhadap TPN dengan mobilisasi edema dan peningkatan serum albumin dan hanya 1 yang mengalami komplikasi postoperatif. 16 pasien yang lain bertambah berat badan dan albumin serum turun.Delapan pasien dari 15 berkembang menjadi komplikasi postoperatif. Kegagalan mobilisasi edema pada nutrisi parenteral menghasilkan prognosis jelek.
Laporan ini menunjukkan pembatasan input natrium, klorida, dan air dapat mempengaruhi akibatnya. Hal apa yang menyebabkan kurangnya pemahaman tentang dasar-dasar pemberian cairan intravena termasuk UK dan kegagalan terapi yang sering walaupun menggunakan pengukuran elektrolit dan nitrogen untuk mengoptimalkan terapi cairan.
Larutan hipertonik
Walaupun efek merusak loading natrium dan klorida, peningkatan tonisitas plasma pada periode awal post trauma telah diakui berpengaruh terhadap fungsi organ dan menjadi subjek penelitian 20 tahun belakangan ini. Penelitian secara klinis stelah trauma kepal menyarankan pada awalnya diterapi denga larutan hipertonik dapat mengurangi tekanan intrakranial, meningkatkan tekaan perfusi otak, dan memperbaiki hasil terapi, dibandingkan dengan resusitasi isotonis.Namun, pasien dengan trauma kepala yang juga terjadi hipovolemik, larutan hipertonik hanya berguna pada awal terapi dan tidak boleh sebagai terapi tunggal.

Studi klinis dengan menggunakan larutan hipertonik untuk penanganan shock hipovolemik tidak menunjukkan keuntungan yang terus-menerus menurunkan mortalitas data morbiditas, walaupun hal ini mungkin diakibatkan oleh rumitnya model studi klinis "yang digunakan dan bervariasinya efek dari larutan hipertonik.
Untuk menilai akibat yang berbeda dari resimen resusitasi cairan yang berbeda terhadap mortalitas dan morbiditas, jjumlah pasien yang banyak dibutuhkan untuk studi klinis untuk mempunyai data yang cukup kuat. Kesulitan lain adalah banyaknya jenis cairan yang digunakan sebagai perawatan standar, yang membuat pemilihan resimen kontrol sama penting pada saat entervensi penelitian. Akibatnya inklusi subjek penelitian dari beberapa penelitian seperti saline hipertonik dengan atau tanpa koloid seperti dextran, yang dilakukan resusitasi pada trauma, shock hemoragik, luka bakar dengan mengurangi volume cairan yang dibutuhkan, dan beberapa yang diperbaiki fungsi parunya. Mekanisme dasar keuntungan yang didapatkan pada studi klinis ini belum jelas, tetapi terlihat bahwa hal ini menyebabkan efek osmotik/biofisik membatasi edema interstisial sebab volume cairan hipertonik yang diberikan sedikit. Dan infus larutan hipertonik menarik cairan dari ruang interstisial untuk menambah ruang vaskuler yang hilang adalah efek dalam waktu singkat, dan defisit yang masih ada perlu dikoreksi.
Bukti baru-baru ini dari pwnwlitian klinis, hewan, dan secara in vitro menunjukkan bahwa manipulasi osmolalitas plasma (tonisitas) segera setelah trauma mempunyai efek immunomodulas, yang mempengaruhi mikrosirkulasi dan berpotensial memberikan efek. Pemberian salin hipertonik segera dengan atau tanpa dextran, pada hewan yang shock hemoragik mengurangi ikatan endothelial neutrofil. Namun, pemberian salin hipertonik setelah stimulasi neutrofil, meningkatkan degranulasi neutrofil, pelepasan elastase, dan produksi radikal bebas, yang menjadi proses patogenesis cedera paru dan kegagalan organ. Jadi, penggunaan larutan hipertonik mempengaruhi respon immun proinflamasi tergantung waktu pemberian setelah cedera dan pemberian yang terlambat dapat meningkatkan resiko kegagalan organ kemudian. Waktu kritis menjadi tambahan penjelasan hasil yang diperdebatkan dari pemberian segera resimen resusitasi hipertonik.
Penelitian secara in vitro juga menunjukkan salin hipertonik mempengaruhi supresi immune post-traumatik. Post-trauma menekan sel T manusia, dan sel dapat disupresi dengan sitokin anti-inflamasi (interleukin 4 dan 10 dan TGF) dan dapat dinaikkan dengan salin hipertonik dengan menghasilkan 80 % dari normal interleukin yang dikeluarkan. Hanya dengan terdapatnya agen anti-inflamasi salin hipertonik memperkuat ekspresi interleukin 2 dan proliferasi dari sel T. Studi lanjut menunjukkan salin hipertonik dapat mengembalikan supresi sel T pada pasien trauma dengan cara menghambat atau subtitusi yang memblok signal pathway.
Hasil ini menunjukkan bahwa larutan hipetonik dapat bernilai pada akut hipovolemia, tetapi diberikan sebelum resuritasi cairan : keterlambatan pemberian dapat memperkuat aktivasi respon inflamasi neutrofil-sel endothelial. Larutan salin hipertonik tidak dianjurkan untuk resusitasi cairan, tetapi dapat sebagai obat yang berperan meningkatkan sistem immune jika diberikan sesegera mungkin setelah cedera sebelum terapi volume dimulai. Informasi ini seharusnya mempengaruhi penelitian dengan design klinikal trial pengguanaan larutan hipertonik pada penanganan trauma prehospital dan hospital.
Efek berbagai koloid
Sejak pertengahan abad lalu, larutan albuumin manusia merupakan utama untuk menambah volume, dan telah dicari alternatif buatan karena albumin manusia sangat mahal daripada koloid sintetik atau larutan kristaloid. Apalagi resiko infeksi saat ini ddari produk darah menambah permintaan koloid sintetik. Larutan yang ideal volume ekspander yaitu yang tetap tinggal di ruang vaskuler, tidak mempengaruhi homeostatik, inert (tidak terurai), dan diekskresikan total. Hal ini dikembangkan berbagai macam koloid termasuk gelatin dengan berat molekul rendah dengan berat rata-rata 30 kDa, dextran dengan berat molekul rata-rata antara 40 sampai 150 kDa, dan jenis Hydroxyethiyl starch (HES) yang disediakan dengan berat molekul rata-rata 70 kDa sampai 450 kDa. Larutan HES dengan berat molekul tinggi yang dikenal hetastarhes, tetap tertahan di sirkulasi selama beberapa jam dan cenderung mempengaruhi koagulasi, tetapi tetapi sediaan HES sekarang sedikit menimbulkan masalah dengan berat molekul rata-rata sekitar 100 kDa sampai 200 kDa dan dengan berat rendah mempercepat degradasi dan ekskresinya. Secara umum tanpa memandang perbedaan harga dan anekdot penggunaan koloid lebih berdasarkan keadaan klinis daripada efesiensi. Namun, penelitian tentang efek penggunaan koloid yang berbeda terhadap respon inflamasi dan fungsi organ tetap diamati dan memerlukan penelitian dengan studi klinis komparatif prospektif.
Bukti klinis dan studi in vitro yang membandingkan HES dengan albumin, gelatin, dan ekspansi volume hanya dengan koloid, menunjukkan bahwa HES mengurangi inflamasi yang menginduksi kebocoran kapiler terhadap air dan albumin yang kemungkinan memodulasi pelepasan sitokin dan interaksi leukosit dengan endothel vaskular.
HES mempunyai keuntungan klinis yang berbeda dibanding dengan cairan lain, dimana keadaan biofisik HES yang tidak sederhana tertahan lebih baik pada kebocoran vaskuler. Bolt dan kawan-kawan mengacak 30 pasien trama dan 30 pasien sepsis yang menerima 10 % HES (berat molekul rata-rata 200 kDa) atau 29 % albumin manusia yang diinfus selama 5 hari untuk mempertahankan tekanan kapiler pulmoner antara 12 mmHg dan 18 mmHg. Tekanan vena sentral dan tekanan kapiler pulmoner dibandingkan dalam kedua kelompok (trauma/sepsis) selama penelitian. Baik pada pasien trauma maupun paien sepsis, kardiak indeks, konsumsi oksigen, dan distribusi aksigen, meningkat dengan pengguanaan HES. Fraksi ejeksi ventrikel kanan berkurang (<40%) pada pasien dengan pemakaian albumin dan meningkat pada kelompok yang memakai HES. pHi intramukosa gastrik, sebagai marker keadaan perfusi splanikus, tetap normal (>7,35) baik pada penanganan dengan albumin dan HES pada kelompok trauma dan penggunaan HES pada pasien sepsis. Pemberian albumin pada pasien sepsis, pHi turun dibawah 7,20 selama penelitian yang menunjukkan menurunnya perfusi splanikus. Peneliti menyimpulkan terapi cairan albumin dalam waktu yang lama pada pasien trauma dan pasien sepsis tidak mempunyai keuntungan dibandingkan dengan HES. Penggantian volume dengan HES memperbaiki hemodinamik sistemik pada kedua kelompok, dan memperbaiki perfusi splanikus pada pasien sepsis.
Pada percobaan denga metode acak prospektif penggunaan HES dibandingkan dengan kristaloid pada 30 pasien yang mengalami operasi aorta, Marik dan kawan-kawan juga meneliti perfusi splanikus dengan pengukuran pHi. Penurunan pHi sedikit terjadi pada kelompok dengan pemberian HES dan balans cairan positif intraoperatif menurun pada kelompok ini. Peneliti menyimpulkan bahwa selama bedah mayor resusitasi volume dengan HES dapat memperbaiki aliran darah mikrovaskuler dan oksigenasi dibandingkan dengan hanya dengan pemakaian resimen kristaloid.
Dengan pengukuran pHi dan hemodinamik parameter, Bold dan kawan-kawan meneliti fungsi hati dan regulasi sirkulasi pada pasien trauma (n=28) dan sepsis (n=28) yang diacak menerima resusitasi albumin dan HES. Konsentrasi plasma terhadap vasopresin, endothelin-1, adrenalin (epinefrin), noradrenalin (norepinefrin), atrial natriuretik peptida, dan 6-keto-prostaglandin F1α diukur pada hari perawatan intensif (trauma pasien) atau pada pasien sepsis dan pengukuran tiap hari selama 5 hari. Fungsi hati dinilai tiap hari dengan menggunakan monoethyl glycinexylidide test (MEGX). Mean arterial pressure, heart rate, dan tekanan kapiler pulmoner tidak berbeda pada kedua koresponden (trauma/sepsis). Kardiak indeks meningkat secara bermakna pada HES daripada albumin. pHi dan konsentrasi MEGX plasma tidak berbeda pada kedua kelompok pasien trauma, tetapi kedua nilai lebih rendah pada pasien sepsis dan meningkat pada dengan jelas pada penggunaan HES daripada albumin. Pada pasien trauma, konsentrasi semua regulator vasoaktif sama pada pemakaian albumin dan HES. Pada kedua kelompok sepsis, vasopressor (vasopresin, endothelin-1, noradrenalin, dan adrenalin) meningkat diatas garis normal dan menurun secara bermakna pada pemakaian HES daripada albumin. Konsentrasi atrial natriuretik peptida meningkat hanya pada pasien dengan terapi albumin, sementara konsentrasi 6-keto-prostaglandin F1 menurun bermakna hanya pada pasien sepsis dengan pemberian HES. Hasil ini menunjukkan bahwa HES lebih efektif sebagai volume ekspander daripada albumin, khususnya pada pasien sepsis.
Younes dan kawan-kawan menelit secara acak pasien trauma dengan hipovolemik hemoragik dengan HES(n=12) atau salin isotonik (n=11). Cairan diberikan 250 ml bolus ampai tekanan sistolik >100 mmHg. Karena rata-rata kematian sama pada kedua kelompok , pemberian cairan yang kurang dibutuhkan pada pasien yang diberikan HES, dimana retensi vaskular lebih baik pada HES dibandingkan dengan salin.
Dengan studi prospektif acak, peneliti membandingkan resusitasi dengan HES (10 % Pentaspan)(n=20) atau gelatin (n=21) pada 24 jam pertama pada pasien trauma tumpul. Permeabilitas kapiler dinilai dengan menilai kecepatan rata-rata ekskresi albumin urin setiap 6 jam , dimana pada kelompok HES terjadi penurunan ½ selama 8-12 jam . Setelah 48 jam rasio rata-rata pO2/FiO2 lebih tinggi pada kelompok HES dan serum C reactive protein lebih rendah.Tidak ada perbedaan bermakna pada faktor koagulasi selama 5 hari. Penelitian yang lain terhadap pasien yang menjalani repair aneurisma aorta abdominal, secara acak menerima HAES atau gelatin selama 24 jam , menunjukkan penurunan yang sama permeabilitas kapiler sistemik perioperatif, komplians paru meningkat, dan rasio pO2/FiO2 dan tingginya pHi yang menunjukkan kurangnya iskemik splanikus. Kelompok HES juga menunjukkan rendahnya dalam sirkulasi postoperatif konsentrasi interleukin 6, C reaktif protein dan von Willebrand endothelial dalam sirkulasi, menunjukkan adanya efek proteksi endothelial vaskular dan anti inflamasi pada pasien diterapi HES. Konsentrasi kreatinin serum juga rendah pada pasien diterapi ES. Pada studi acak dengan terapi HES pada pasien trauma (n=15) atau 20 % pasien dengan terapi albumin (n=15) untuk terapi volume, konsentrasi sELAM plasma ( Endothelial Leucosyte adhesion molecul), sICAM ( intercellular adhesion molecule-1), vascular cell adhesion molecule-1 (sVCAM-1), and granule membrane protein 140 (sGMP-140) lebih renda pada kelompok HES selama 5 hari. Studi ini menunjukkan bahwa dibandingkan dengan albumin, gelatin, atau resimen kristaloid, resusitasi dengan HES dengan berat molekul sedang mengurangi kebocoran kapiler postrauma, memperbaiki pertukaran gas pulmoner, dan mengurangi iskemik splanikus dan mempunyai efek antiinflamasi.
Ekspansi volume dengan hetastarches dengan berat molekul tinggi menyebabkan koagulopathy. Dua studi yang membandingkan HES dengan berat molekul sedang dengan gelatin untuk resusitasi trauma atau selama opeasi orthopedi menunjukkan tidak ada perbedaan hasil pemeriksaan laboratorium marker koagulasi. Dengan memperhatikan kekurangan yang dimiliki sediaan koloid, sangat berbahaya menggunakan HES tanpa input cairan yang cukup, dimana penggunaan HES sebagai komponen utama infus cairan mempunyai resiko dehidrasi sellular, dan dilaporkan kerusakan fungsi ginjal oleh karena nephrosis osmotik. Larutan HES merupakan larutan efektif sebagai volume ekspander tetapi tidak menyebabkan pembentukan urine. Kegagalan memberikan input air bebas dapat merusak ginjal. Menurut penelitian menunjukkan Larutan HES lebih mwnguntungkan daripada koloid lain, HES hanya diberikan 1/3 dari total volume cairan yang diberikan per infus. Studi tambahan dibutuhkan untuk mencari mekanisme HES yang mana yang mempunyai efek antiinflamasi, proteksi mikrovaskularisasi selama keadaan inflamasi akut seperti trauma dan sepsis. Namun, sudah ada bukti yang cukup dari studi klinis untuk menggambarkan anjuran praktis mengoptimalkan resimen resusitasi dan resimen post-resusitasi cairan.
RESUSITASI
Pembatasan input natrium, klorida, dan cairan dengan pemberian dalam jumlah sedikit HES berat molekul sedang sebagai resimen resusitasi. Ekspansi volume dengan HES mengurangi loading cairan dan natrium dibandingkan dengan gelatin, 4,5% albumin, atau hanya dengan kristaloid. Rekomendasi ini sesuai dengan guidelines ATLS dimana 2 liter larutan Hartmann yang dihangatkan diberikan pada resusitasi cairan segera, tetapi dari semua cairan yang diberikan 1/3nya dari cairan infus dengan HES berat molekul sedang. Penggunaan larutan hipertonik pada trauma kepala mungkin memberi keuntungan, tetapi tidak digunakan sebagai terapi tunggal. Penggunaan larutan hipertonik sejak dini penanganan hipovolemik tetap menguntungkan, dan efek modulasi immun tergantung waktu pemberian setelah cedera.
SETELAH RESUSITASI
• Mencapai balans cairan dan natrium negatif, ketika stabilitas hemodinamik telah baik dan respon inflamasi telah hilang, terjadi mobilisasi cairan dan natrium dari loading cairan resusitasi. Hal ini khas terjadi pada 2 sampai 5 hari post trauma atau kasus operasi tanpa komplikasi.
• Mengawasi balans cairan dan natrium setiap 24 jam. Dengan memperhitungkan 800 ml insensible losses perhari dan peningkatan 200 ml setiap 1 o C diatas 37°C ( terutama pasien luka bakar)
• Memberikan maintenans air untuk urine untuk mengganti insensible losses, seluruhnya atau kombinasi dengan dextrose 5 % intravena.
• Monitor volume urine, natrium, kalium, dan ekskresi urea tiap hari sampai terapi intravena tidak dibutuhkan. Jika osmolalitas urine meningkat diatas 500 mosm/l, natrium urine turun dibawah 50 mmol/24 jam disertai peningkatan konsentrasi natrium dan urea serum menunjukkan peningkatan input cairan bebas.
• Jika balans negatif natrium dan air sulit dicapai, dipertimbangkan menggunakan diuretik.
Mengingat konsentrasi natrium dan kalium serum tidak menggambarkan keadaan total tubuh, sangat penting membandingkan input cairan dengan ekskresi elektrolit dan urea.
TANDA OVERLOAD CAIRAN PADA KORBAN TRAUMA
Balans cairan positif yang memanjang
Volume darah normal pada laki-laki dewasa sekitar 5 liter, dimana volume plasma sekitar 2,8 liter. Setelah koreksi perkiraan kehilanghan darah dan insensible losse, 24 jam pasien post resusitasi memperlihatkan adanya balans positif cairan sekitar 4 sampai 6 liter cairan . Hal ini disebabkan oleh trauma yag menginduksi permeabilitas kapiler sistemik yang mengakibatkan pergerakan cairan dari vaskular ke ruang interstisial. Cairan yang berlebih ini harus dikeluarkan pada hari ke 2 sampai 5 setelah respon inflamasi telah hilang dan fungsi mikrovaskular kembali normal. Balans cairan positif yang meningkat dan memanjang menunjukkan overload cairan memburuk: ini karena mungkin iatrogenik dan dapat dihindari atau disebabkan oleh kebocoran kapiler yang terus-menerus pada SIRS disertai dengan menurunnya resistensi vaskuler sistemik.
Pulmonary wedge pressure
Tekanan pulmoner
Keadaan seperti timbulnya tamponade jantung, kegagalan ventrikel kiri, stenosis katup mitral atau perikarditis, tekanan pulmonal tinggi menunjukkan overload cairan(NB koreksi sebaiknya dilakukan dengan PEEP (Positive End Expiratory Pressure).

Stroke volume jantung
Efek pemberian 200 ml hydroxethyl starch bolus pada stroke volume jantung yang diukur dengan Doppler esofageal dapat digunakan untuk meningkatkan pre-loaddan pada operasi jantng dan orthopedi menunjukkan perbaikan. Kegagalan ekspansi cairan vaskuler meningkatkan stroke volume menunjukkan ekspansi yang berlebihan dan harus dibatasi penambahan kompartemen vaskuler.
Peningkatan berat badan
Adanya bed pengukuran berat badan dengan alat monitor yang dapat dibaca, berat badan dapat digunakan untuk menaksir balans cairan. Hal ini terutama pada pasien luka bakar dengan insensible losses yang tidak dapat diukur.
Kesimpulan
Cedera menyebabkan respon langsung patofisiologis untuk mempertahankan suplai darah ke organ penting, namun hal ini disertai dengan retensi natrium dan air. Respon terhadap cedera dan infeksi juga menyebabkan peningkatan permeabilitas kapiler sistemik terhadap protein dan cairan, dimana hal ini diluar kendali awal timbulnya SIRS dan menyebabkan overload air dan garam saerta edema interstisial. Walaupun loading natrium, klorida, dan air merupakan penanganan yang tidak dapat dihindari pada keadaan akut, namun efek yang merusak dari garam dan air yang berlebih setelah pemberian dapat dibatasi. Strateginya termasuk memberikan HES dengan berat molekul sedang yang dikombinasikan dengan larutan Hartmann untuk resusitasi, penilaian penggantian volume yang adequat dengan memonitor hemodinamik dan klinis pasien dan menghindari infus cairan yang mengandung garam. Target post resusitasi adalah tidak terdapatnya kelebihan garam dan air dalam ruang interstisial segera setelah respon inflamasi hilang dan kebocoran kapiler kembali normal dan hemodinamik stabil. Selama recovery, perlu diperhatikan persediaan cairan bebas dalam mempertahankan output urine yang cukup untuk ekskresi natrium yang berlebih saat resusitasi dan juga peningkatan ekskresi nitrogen karena trauma, bedah mayor, atau sepsis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar