Kamis, 13 Januari 2011

MAX WEBER,KARL MARX,NEGARA

Jikalau kita ingin melihat bagaimana hubungan integral keseluruhan antara agama dan politik, hukum dan masyarakat dalam Islam, itu semua telah terefleksi dalam penekanannya pada kerja diri seorang Muslim itu sendiri yaitu sebagai khalifah Allah SWT di muka bumi, untuk apa? Untuk membentuk dunia sesuai dengan pola Tuhan melalui penegakan dan penyebaran tatanan Islam. Melihat Islam dan tatanan politik tentunya tidak sepadan, karena Islam lebih dari pada itu, namun tatanan politik itu sendiri merupakan bagian atau telah dianggap sebagai jalan untuk dapat menunaikan perintah agama.


Tatanan politik ini merupakan salah satu instrumen bagi tegaknya prinsip-prinsip Islam yang telah ditetapkan Tuhan yang mengatur seluruh aspek kehidupan seorang beriman. Atas dasar itulah para fuqaha pun mulai terdorong bertentangan akan persoalan yang menanyakan apa dan mengapa negara itu harus ada. Pada masa permulaan, para fuqaha bersiteguh untuk membangun tatanan politik Islam dengan merujuk kepada perintah-perintah Al-Qur’an dan segenap hadist Rosulullah SAW yang berkaitan dengan kebutuhan umat serta universalisme Islam.

Namun kedatangan kolonialisme Eropa, kemudian malah mendominasi keseluruhan politik dan ekonomi atas wilayah Muslim sehingga membatasi ruang lingkup wacana hukum, politik dan pemikiran Islam yang berkaitan dengan tatanan politik. Gerakan kemerdekaan bermunculan di tiap-tiap negara jajahan mengangkat anti kolonial, di mana Islam berperan sebagai kekuatan pemersatu dan munculnya berbagai negara Muslim sendiri telah mengarah mengenai berbagai pernyataan mengenai tatanan politik Islam.

Berbagai bahan bacaan penting yang berkembang sejak itu telah menginginkan dan menganalisis untuk negara Islam, namun masih ada kebingungan, ketidakjelasan, kesamaran yang sangat penting seperti hakekat dan bentuk dari tatanan politik Islam sehingga terealisasi negara Islam, yang malah kadang-kadang dibingungkan dengan pikiran dan gagasan Barat mengenai negara-bangsa.

Negara

Manusia seperti yang diungkapkan Aristoteles pada hakekatnya adalah makhluk politik, maka sudah menjadi watak hidupnya dalam suatu kota yang dengan begitu dia dapat mencapai watak moralnya yang tertinggi. Inilah yang mengawali penjelasan sistematis mengenai negara dari para filosof Yunani. Bagi Plato dan Aristoteles, negara adalah bertujuan untuk mencari kebaikan umum dan kesempurnaan moral.

Bagi mereka berdua, negara tidak hanya sekedar asosiasi politik, namun secara bersamaan berperan sebagai komunitas keagamaan dan tempat sosialisasi yang biasanya berurusan dengan pengembangan pikiran dan jiwa individu.

Mengapa mereka berdua beranggapan seperti itu? Karena kedua filosof itu memandang tiap individu adalah sebagai makhluk yang secara alami cenderung kepada kebaikan dan karenanya sehingga penekanannya kepada dimensi moral kemanusiaan. Keduanya mengatakan penekanan rasa komunitas yang ditemukan dalam kota (polis) yaitu tentang kesepakatan umum tentang sifat keyakinan-keyakinan moral.

Dimulai dari Niccolo Machiavelli yang beranggapan dan menekankan bahwa hal tersebut yang telah diungkapkan kedua filosof telah berubah. Bagi Machiavellli, kondisi sekarang banyak teoretisi memandang manusia malah sebagai makhluk yang mementingkan diri sendiri, mempunyai keinginan abadi dan terus menerus mempertahankan diri demi kekuasaan dan kemudian pada akhirnya malah berujung dengan kematian. Sehingga hal tersebut memberikan pandangan fokus yang berbeda dan berubah dari moralitas dan kebaikan beralih kepada kekuasaan dan otoritas.

Itu semua dibenarkan oleh Karl Marx dan Max Weber dimana keduanya mempunyai teori sendiri tentang negara. Mereka mengganggap populasi penduduk, wilayah, pemerintahan dan kedaulatan merupakan ciri-ciri negara yang terbukti dengan sendirinya dan tidak perlu kejelasan lebih lanjut lagi. Oleh karena itu Marx dan Weber mengawali pandangan mereka dengan analisis kelas atau kelompok negara dan tindakannya.

Mereka mendasarkan teorinya kepada konsep manusia yang lebih mementingkan diri sendiri sebagai anggota kelompok. Keduanya melihat negara itu dalam hubungan kekuasaan, kekejaman, dominasi dan syarat-syarat administrasi. Tapi Marx dan Weber mempunyai pandangan berbeda dalam hubungan penekanan, tujuan dan sarana yang digunakan dalam mencapai tujuan-tujuan yang diinginkan.

Negara menurut Karl Marx

Sebelum melangkah dalam uraian Marx tentang negara ada baiknya kita ketahui bahwa keadaan kehidupan Marx saat itu di tengah-tengah kehidupan yang mana perbedaan ekonomi sangat mencolok sekali. Mendominasinya gaya hidup kerajaan menjadikan para bangsawan semena-mena terhadap rakyatnya. Bagi Marx sendiri, negara adalah produk kontradiksi kelas dan perjuangan kelas, dan secara ekonomis semua itu dikontrol oleh kelas yang dominan. Negara borjuis itu kemudian dijadikan alat kontrol dan pemaksaan bagi pembagian kelas yang memiliki sarana-sarana produksi untuk menjalankan kekuasaan atas kelas-kelas yang tereksploitasi dalam masyarakat. Nampak luar, negara borjuis ini seakan-akan berbentuk demokrasi, namun sistem politiknya sangat terstruktur sehingga malah menjamin dominasi para borjuis-borjuis selanjutnya.

Kita lihat bahwa pemerintah bertindak sebagai eksekutif kelas para penguasa, yang mana dapat mengkoordinir tindakan dan kerja para anggota-anggotanya guna kepentingan kelas di masa selanjutnya. Mau kita lihat bagaimanapun, negara borjuis tak dapat disangkal lagi mempunyai otonomi dan penampakan kejujuran yang relatif. Tapi itu semua dibantah oleh Marx yang mengingkari kalau negara yang berdasarkan kelas, terus karena kelas itu melibatkan oposisi sehingga menjadikan negara borjuis ini menunjukkan kecenderungan-kecenderungan yang kontradiktif. Marx beranggapan bahwa tingkat produksi tinggi yang dijamin sistem kapitalis, dikarenakan mungkin karena adanya kemiskinan orang banyak atau karena hanya sedikit orang yang mempunyai kekayaan.

Namun jika semua ini di satukan kemudian diberi jalan bagi masyarakat komunis yang kita ketahui mengusung sistem pemerataan ekonomi dan memuaskan kebutuhan setiap orang. Maka lanjut Marx, dalam situasi tanpa kelas itu (karena sudah rata secara ekonomi), maka tidak akan ada oposisi, terus masyarakat tidak ada kebutuhan terhadap aparat negara yang suka menindas.

Nah terus pertanyaannya emang kalau sudah rata seperti itu sudah menjamin tidak akan ada aparatur negara yang menindas? Yah buat tahunya saya rasa kita sudah bisa melihat negara-negara yang lebih dulu mengadopsi pemikiran Marx dimana faham komunisme dan sosialisme tumbuh menjadi suatu sistem? Bagaimanakah para penguasanya dan bagaimanakah rakyatnya? Bagaimana kondisi kehidupan mereka?

Negara menurut Max Weber

Kalau di ikuti lebih lanjut sebenarnya dalam beberapa hal, Max Weber masih sependapat dengan analisa Marxist tentang negara, namun ia sendiri menganggap masyarakat tanpa kelas malah sebagai utopia atau hanya impian belaka. Weber menolak kritik Marx atas sistem kapitalis dan juga ia melihat sedikit adanya perbedaan antara masyarakat sosialis yang didominasi elit birokrat dengan sistem kapitalis yang didominasi oleh kaum borjuis.

Bagi Weber, negara adalah hubungan manusia yang mendominasi manusia, yaitu hubungan yang didukung oleh sarana-sarana kekerasan. Ia memandang bahwa pemaksaan kehendak kepada orang lain bahkan dengan kekerasan sudah menjadi bawaan manusia karena adanya hak milik dalam mendapatkan sarana-sarana materi untuk mendominasi baik itu secara administrasi ataupun pemaksaan. Jadi menurutnya lebih lanjut bagaimana sekarang caranya untuk menjelaskan dominasi ini dapat disahkan (Nah loh? Kalau sekarang bertindak memaksakan kehendak sudah melanggar ham kali).

Lanjut Weber, ketiadaan lembaga sosial yang dapat mengontrol kekerasan malah akan mengantarkan pada anarki dalam pengertian kata yang khas. Jadi menurutnya, negara didefinisikan sebagai komunitas manusia yang telah berhasil mengklaim monopoli serta dapat memanfaatkan penyalahgunaan hukum dalam suatu wilayah tertentu. Bagi Weber, monopoli penyelewengan adalah rasional bahkan karenanya malah dapat mengurangi kemungkinan konflik.

Namun sekali lagi, rasionalitas dominasi tersebut dapat diterima jika berpusat pada kemungkinan memenuhi perintah-perintah yang sah. Kalau Marx mencoba mereduksi peran aparatur negara, nah kalau Weber menyandarkan diri pada peran aparatur negara. Namun bagaimanakah selanjutnya jika mereka telah mendasari bahwa manusia itu adalah anarki, sampai-sampai bagaimana caranya melegalkan cara untuk mensahkan tindakan manusia yang secara nyata telah menyimpang.

Dahl dalam karyanya Who Governs?, yang dianggap sebagai suatu studi awal mengenai politik, yang mana didasari oleh konsep Weber tentang negara. Ia mengungkapkan bahwa negara itu merupakan kumpulan individu yang menduduki posisi penting yang mempunyai otoritas memerintah dan bertindak sebagai kelompok yang memerintah. Situasi dan alam politik itu dicirikan dengan kelompok-kelompok sosial yang berbeda yang mempunyai sasaran dan sumber daya politik yang berbeda.

Jika kita melihat lebih lanjut semua dalam uraian diatas, mereka semua melihat konseptualisasi negara dari perspektif sosial dan kapitalis. Mereka memasukkan dinamika kelompok atau analisis kelas ke dalam analisis tradisional mengenai negara dalam hubungannya dengan populasi, wilayah, pemerintahan dan kedaulatan dalam menjelaskan bagaimanakah tindakan negara. Bagi mereka kelas yang mengontrol ekonomi juga dapat mengontrol kekuatan politik dalam negara. Maksudnya, seperti sistem kapitalis yang menentukan bagaimana peran penting bagi mayoritas orang-orang yang tak punya, demikian juga bagaimana kediktatoran proletar yang mengizinkan bertahannya struktur borjuis tertentu selama dalam transisi sosialis.

Jika dipandang lebih jauh ke dalam dua sistem tersebut, kepentingan kelas dan bangsa ada di atas kepentingan anggota-anggota individu komunitas. Akhirnya malah kedua sistem tersebut menolak peran tanggung jawab bersama komunitas atas kesejahteraan spiritual dan bahkan secara material bagi anggota-anggota individualnya.

Terselip di dalam sistem-sistem tersebut pemecahbelah kondisi masyarakat, mengandalkan peran manusia yang bagi mereka mempunyai sifat anarki, padahal manusia jika tidak dibatasi memiliki nafsu yang tak terbendung, melegalkan berbagai cara dalam meraih kepentingan, meniadakan peran Tuhan (karena memang tidak mengakui adanya Tuhan atau bahkan karena trauma sejarah penyelewengan Kristen di Eropa), masih memandang ras atau kelompok tertentu (jika dilihat ini malah menjadi bom waktu menunggu terjadinya konflik), dan pastinya meniadakan sisi kebersamaan, kesamaan namun sebaliknya menimbulkan sisi individual yang tinggi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar